Kamis, 11 Juni 2015

KOHESI DAN KOHERENSI


KOHESI DAN KOHERENSI

A.      Pengertian Kohesi dan Koherensi
Mengenai pengertian kohesi dan koherensi sebenarnya tidak terlihat perbedaan yang nyata, karena pengertian kedua istilah tersebut sering disamakan dan sering dipertukarkan pemakaiannya. Kedua pengertian tersebut saling menunjang, saling berkaitan, ibarat dua sisi pada satu mata uang.
Kohesi memiliki pengertian yaitu hubungan antarkalimat dalam sebuah wacana, baik dalam strata gramatikal maupun dalam strata leksikal tertentu (Gutwinsky, 1976 : 26 dalam Tarigan, 2009 : 93). Untuk dapat memahami wacana dengan baik, diperlukan pengetahuan dan penguasaan kohesi yang baik pula, yang tidak saja bergantung pada pengetahuan kita tentang kaidah-kaidah bahasa, tetapi juga kepada pengetahuan kita mengetahui realitas, pengetahuan kita dalam proses penalaran, yang disebut penyimpulan sintaktik (Van de Velde, 1984 : 6 dalam Tarigam, 2009 : 93). Kita dapat mengatakan bahwa suatu teks atrau wacana benar-benar bersifat kohesif apabila terdapat kesesuaian secara bentuk bahasa terhadap konteks (Tarigan, 2009 : 93).
Sedangkan untuk pengertian koherensi itu sendiri adalah pengaturan secara rapi kenyataan dan gagasan, fakta dan ide menjadi suatu untaian yang logis sehingga kita mudah memahami pesan yang dikandungnya (Wohl, 1978 : 25 dalam Tarigan, 2009 : 100). Pengertian yang lain menyatakan bahwa koherensi adalah pertalian atau jalinan antarkata, atau kalimat dalam teks. Dua buah kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan sehingga tampak koheren. Sehingga, fakta yang tidak berhubungan sekalipun dapat menjadi berhubungan ketika seseorang menghubungkannya. Koherensi merupakan elemen wacana untuk melihat bagaimana seseorang secara strategis menggunakan wacana untuk menjelaskan suatu fakta atau peristiwa  (Teun A. Van Dijk dalam Eriyanto, 2001 : 242).

B.       Sarana-sarana Kohesi
Kohesi yaitu hubungan antarkalimat dalam sebuah wacana, baik dalam strata gramatikal maupun dalam strata leksikal. Dalam strata gramatikal Halliday dan Hasan pada tahun 1976 mengemukakan sarana-sarana kohesif yang terperinci dalam karya mereka yang berjudul Cohesion in English.  Mereka mengelompokkan sarana-sarana kohesif itu ke dalam lima kategori, yaitu :
1.    Pronomina (kata ganti)
Salah satu sarana kohesif yaitu pronomina atau kata ganti. Kata ganti tersebut dapat berupa kata ganti diri, kata ganti penunjuk, dan lain-lain.

*   Kata ganti diri dapat berupa :
ð  Saya, aku, kita, kami ;
ð  Engkau, kamu, kau, kalian, anda ;
ð  Dia, mereka.
Contoh :
Ani, Berta, dan Clara sedang duduk-duduk di beranda depan rumah Pak Dadi. Mereka sedang asyik berbincang-bincang. ....
*   Kata ganti penunjuk dapat berupa ini, itu, sini, situ, sana, di sini, di sana, ke sini, ke situ, ke sana.
Contoh :
Ini rumah kami. Kami tinggal di sini sejak tahun 1962. Tamu-tamu dari Sumatera sering datang ke sini dan menginap beberapa lama di sini.
*   Kata ganti empunya dapat berupa –ku, -mu, -nya, kami, kamu, kalian, mereka.
Contoh :
Anakku, anaknya melanjutkan pelajaran di Jakarta. Anakmu kuliah di mana? Anak kami sama-sama kuliah di Universitas Indonesia. ...

*   Kata ganti penanya berupa apa, siapa, mana.
Contoh :
Apa yang kamu cari di sini?
Siapa yang kamu pilih menjadi temanmu?
.........

*   Kata ganti penghubung berupa yang.
Contoh :
Kita hidup bermasyarakat, hidup tolong-menolong. Yang pintar mengajari yang bodoh. Yang kaya menolong yang miskin. ......

*   Kata ganti tak tentu berupa siapa-siapa, masing-masing, sesuatu, seseorang, para.
Contoh :
Siapa-siapa yang turut berdarmawisata ke Pantai Pangandaran ditentukan oleh Kepala Sekolah kami. Kepada para pengikut diberikan sesuatu yang sangat menggembirakan. ....

2.    Substitusi (penggantian)
Substitusi adalah proses atau hasil penggantian unsur bahasa oleh unsur lain dalam satuan yang lebih besar untuk memperoleh unsur-unsur pembeda atau untuk menjelaskan suatu struktur tertentu (Kridalaksana, 1984 : 185 dalam Tarigan, 2009 : 96). Substitusi merupakan hubungan gramatikal, lebih bersifat hubungan kata dan makna. Substitusi dapat bersifat nominal, verbal, kalausa, atau campuran, misalnya satu, sama, seperti itu, sedemikian rupa, demikian, begitu, melakukan hal yang sama.
Contoh :
Saya dan paman masuk ke warung kopi. Paman memesan kopi susu. Saya juga mau satu. Keinginan kami rupanya sama. .....

3.    Elipsis
Elipsis adalah peniadaan kata atau satuan lain yang wujud asalnya dapat diramalkan dari konteks bahasa atau konteks luar bahasa (Kridalaksana, 1984 : 45 dalam Tarigan, 2009 : 97). Elipsis dapat pula dikatakan penggantian atau sesuatu yang ada tetapi tidak diucapkan atau tidak dituliskan.
Contoh :
Indah dan Gery senang sekali mendaki gunung sebagai sport utama mereka. Justru Fries dan Ninon  sebaliknya, mereka senang memancing. .....

4.    Konjungsi
Konjungsi adalah penggabungan kata dengan kata, frase dengan frase, klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat, paragraf dengan paragraf (Kridalaksana, 1984 : 105 dalam Tarigan, 2009 : 97). Konjungsi dapat berupa :
a)      Konjungsi adversatif               : tetapi, namun
b)      Konjungsi klausal                    : sebab, karena
c)      Konjungsi koordinatif             : dan, atau, tetapi
d)     Konjungsi korelatif                 : entah, baik, maupun
e)      Konjungsi subordinatif           : meskipun, kalau, bahwa
f)       Konjungsi temporal                 : sebelum, sesudah

5.    Leksikal
Kohesi leksikal diperoleh dengan cara memilih kosakata yang serasi. Ada beberapa cara untuk mencapai aspek leksikal kohesi ini, antara lain :
a)      Pengulangan (repetisi) kata yang sama           : pemuda – pemuda
b)      Sinonim                                                          : pahlawan – pejuang
c)      Antonim                                                         : putra – putri
d)     Hiponim                                                          : angkutan darat (kereta api, dll)
e)      Kolokasi                                                         : buku, koran, majalah
f)       Ekuivalensi                                                     : belajar, mengajar, pelajar, dll

C.      Jenis-jenis Sarana Koherensi
Koherensi merupakan pertalian atau jalinan antar kata, atau kalimat dalam teks. Koherensi ini merupakan salah satu elemen wacana yang di pergunakan untuk menjelaskan suatu fakta atau peristiwa (Teun A. Van Dijk, dalam Eryanto, 2001 : 242). 
Sarana koherensi paragraf dapat berupa penambahan, seri, prononima, pengulangan, sinonim, keseluruhan, kelas, penekanan, komparasi, kontras, simpulan, contoh, kesejajaran, lokasi, dan waktu (F. J. D’Angelo dalam Tarigan, 2009 : 101). Berikut penjabarannya.
*        Sarana penghubung yang bersifat adiktif atau berupa penambahan itu, antara lain : dan, juga, lagi, pula, dll.

Contoh :
Laki-laki dan perempuan, tua dan muda, juga para tamu turut bekerja bergotong royong menumpas hama tikus di sawah-sawa di desa kami. .......
*             Sarana penghubung rentetan atau seri adalah pertama, kedua, .... berikut, kemudian, selanjutnya, akhirnya.
Contoh :
Pertama-tama kita semua harus mendaftarka diri sebagai anggota perkumpulan. Kedua, kita membayar uang iuran. Berikutnya kita mengikuti segala kegiatan, baik berupa latihan maupun kursus-kursus.
*             Sarana penghubung yang berupa kata ganti diri, kata ganti petunjuk, dan lain-lainnya.
Contoh :
Ini rumah saya, itu rumah kamu. Saya dan kamu mendapat hadiah dari pimpinan perusahaan. Rumah kita berdekatan. Kita bertetangga. Rumah Lani dan rumah Mina  di seberang sana. Mereka bertetangga. ....
*             Penggunaan sarana koheresi wacana yang berupa sinonim atau padanan kata (pengulangan kata).
Contoh :
Memang dia mencintai gadis itu. Wanita itu berasal dari Solo. Pacarnya itu memang cantik, halus budi bahasa, dan bersifat keibuan sejati. .....
*             Penggunaan repitisi atau pengulangan kata sebagai sarana koherensif wacana.
Contoh :
Dia mengatakan kepada saya bahwa kasih sayang itu berada dalam jiwa dan raga sang ibu. saya menerima kebenaran ucapan itu. Betapa tidak, kasih sayang pertama saya peroleh dari ibu. ....
*             Penggunaan sarana koherensif  dimulai dari keseluruhan, baru kemudian kita beralih atau memperkenalkan bagian-bagiannya. Hal ini memang sesuai dengan salah satu dimensi yang harus dipenuhi dalam penyususnan kurikulum atau silabus pengajaran bahasa. Kita mulai dari bagian yang lebih besar ke bagian yang lebih kecil; dari bagian yang umum menuju bagian yang khusus. Tentu hal ini bergantung pada tujuan dan tingkat kelas para siswa.
Contoh :
Saya membeli buku baru. Buku itu terdiri dari tujuh bab. Setiap bab terdiri pula dari sejumlah pasal. Setiap pasal tersusun dari beberapa paragraf. Seterusnya setiap paragraf terdiri dari beberapa kalimat. .....
*             Sarana koherensif wacana yang mulai dari kelas ke anggota.
Contoh :
Pemerintah berupaya keras meningkatkan pehubungan darat, laut, dan udara. Dalam bidang perhubungan darat telah digalakkan pemanfaatan kereta api dan kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor ini meliputi mobil, sepeda motor, dan lain-lain.
*             Dengan sarana penekanan pun kita dapat pula menambah tingkat kekoherensifan wacana.
Contoh :
Bekerja bergotong royong itu bukan pekerjaan sia-sia. Nyatalah kini hasilnya. jembatan sepanjang tujuh kilometer yang menghubungkan kampung kita ini dengan kampung di seberang Sungai Lau Biang ini telah sekali kita kerjakan dengan AMD (Abri Masuk Desa). Jelaslah hubungan antara kedua kampung berjalan lebih lancar.
*             Komparasi atau perbandingan dapat menambah serta meningkatkan kekoherensifan wacana.
Contoh :
Sama halnya dengan Paman Lukas, kita pun harus segera mendirikan rumah di atas tanah yang baru kita beli. Sekarang rumah Paman Lukas itu hampir selesai. Mengapa kita tidak membuat hal yang serupa selekas mungkin? ....
*             Kontras atau pertentangan para penilis dapat menambah kekoherensian karyanya.
Contoh :
Aneh tapi nyata. Ada teman saya seangkatan, namanya Joni. Dia rajin sekali belajar, tetapi setiap tentamen selalu tidak lulus. Harus mengulang. Namun demikian, dia tidak pernah putus asa. Dia tenang saja. Tidak pernah mengeluh. Bahkan sebaliknya, dia semakin belajar. Sampai-sampai larut malam dia membaca. Tanpa keluhan apa-apa. Akhirnya tentamen semua lulus juga. Dia menganut falsafah “biar lambat asal selamat.” Kini dia telah menyelesaikan studinya dan diangkat menjadi guru SMA di Prabumulih.
*             Dengan kata-kata yang mengacu kepada hasil atau simpulan, kita dapat juga meningkatkan kekoherensifan wacana.
Contoh:
Pepohonan telah menghijau di setiap pekarangan rumah dan ruangan kuliah di kampus kami. Burung-burung beterbangan dari dahan ke dahan sambil bernyanyi-nyanyi. Udara sejuk dan nyaman. Jadi penhijauan di kampus itu telah berhasil. Demikianlah kini keadaan kampus kami. .......
*             Dengan pemberian contoh yang tepat dan serasi, kita dapat pula menciptakan kekoherensifan wacana:
Contoh:
Wajah pekarangan atau halaman rumah di desa kami telah berubah menjadi warung hidup. Di perkarangan itu ditanam kebutuhan dapur sehari-hari; umpamanya: bayam, tomat, cabai, singkong, dan lain-lain. ....
*             Penggunaan kesejajaran atau paralelisme klausa sebagai saran kekorensifan wacana.
Contoh :
Waktu dia datang, memang saya sedang asyik membaca, saya sedang tekun mempelajari buku baru mengenai wacana. Karena asyiknya, saya tidak mengetahui, saya tidak mendengar bahwa dia telah duduk di kursi mengamati saya. ...

Sedangkan untuk aneka sarana keutuhan wacana dari segi makna menurut (Harimurti Kridalaksana (1978) dalam Tarigan, 2009 : 105) antara lain : hubungan sebab-akibat, hubungan alasan-akibat, hubungan sarana-hasil, hubungan sarana-tujuan, hubungan latar-kesimpulan, hubungan hasil-kegagalan, hubungan syarat hasil, hubungan perbandingan, hubungan parafrastis, hubungan amplikatif, hubungan aditif temporal, hubungan aditf nontemporal, hubungan identifikasi, hubungan generik-spesifik, dan hubungan ibarat. Berikut penjelasanya.

*             Hubungan sebab-akibat untuk menciptakan keutuhan wacana.
Contoh :
Pada waktu mengungsi dulu sukar sekali mendapatkan beras di daerah kami. Masyarakat hanya memakan singkong sehari-hari. Banyak anak yang kekurangan vitamin dan gizi. Tidak sedikit yang lemah dan sakit.
*             Hubungan alasan-akibat.
Contoh :
Saya sedang asyik membaca majalah Kartini. Tiba-tiba saya kepingin benar makan colenak dan minum bajigur. Segera saya menyuruh pembantu saya membelinya ke warung di seberang jalan sana. Saya memakan colenak dan bajigur itu dengan lahapnya. Nikmat sekali rasanya.
*             Hubungan sarana-hasil.
Contoh :
Penduduk di sekitar Kampus Bumisiliwangi yang mempunyai rumah atau kamar yang akan disewakan memang berusaha selalu menyenangkan para penyewa. Jelas banyak sekali para mahasiswa yang tertolong, lebih-lebih yang berasal dari luar Bandung dan luar Jawa. Apalagi sewanya memang agak murah dan dekat pula ke tempat kuliah. Sangat efisien.
*             Hubungan sarana-tujuan.
Contoh :
Dia belajar dengan tekun. Tiada kenal letih siang malam. Cita-citanya untuk menggondol gelar sarjana tentu tercapai ppaling lama dua tahun lagi. Di samping itu istrinya pun tabah sekali berjualan. Untungnya banyak juga tiap bulan. Keinginannya untuk membeli gubuk kecil agar mereka tidak menyewa rumah lagi akan tercapai juga nanti.
*             Hubungan latar-kesimpulan.
Contoh :
Pekarangan rumah Pak Ali selalu hijau. Pekarangan itu merupakan warung hidup dan apotek hidup yang rapi. Selalu diurus baik-baik. Agaknya Bu Ali pandai mengatur dan menatanya. Rupanya Bu Ali pun bertangan dingin pula menanam dan menguus tanaman.
*             Hubungan hasil-kegagalan.
Contoh :
Kami tiba di sini agak subuh dan menunggu agak lama. Ada kira-kira dua jam lamanya. Meeka tidak muncul-muncul. Mereka tidak menepati janji. Kami sangat kecewa dan pulang kembali dengan rasa dongkol.
*             Hubungan syarat-hasil.
Contoh :
Seharusnyalah penduduk desa kita ini lebih rajin bekerja, rain menabung di KUD. Tentu saja desa kita lebih maju dan lebih makmur dewasa ini. Dan seterusnya pula kita menjaga kebersihan desa ini. Pasti kesehatan masyarakat desa kita lebih baik.
*             Hubungan perbandingan.
Contoh :
Sifat para penghuni asrama ini sangat beraneka raga,. Wanitanya rajin belajar. Prianya lebih malas. Wanitanya mudah diatur. Prianya agak bandel.
*             Hubungan parafrastis.
Contoh :
Kami tidak menyetujui penurunan uang makan di asrama ini karena dengan bayaran seperti yang berlaku selama ini pun kuantitas dan kualitas makanan dan pelayanan tidak bisa ditingkatkan. Sepantasnyalah kita menambahi uang bayaran bulan kalau kita mau segala sesuatunya bertambah baik. Seharusnyalah kita dapat berpikir logis.
*             Hubungan amplikatif.
Contoh :
Perang itu sungguh kejam. Militer, sipil, pria, wanita, tua dan muda menjadi korban peluru. Peluru tidak dapat membedakan kawan dan lawan. Sama dengan pembunuh. Biadab, kejam, dan tidak kenal perikemanusiaan. Sungguh ngeri.
*             Hubungan aditif temporal.
Contoh :
Paman menunggu di ruang depan. Sementara itu saya menyelesaikan pekerjaan saya. Kini pekerjaan saya sudah selesai. Saya sudah merasa lapar. Segera saya mengajak Paman makan di kantin. Sekarang saya dan paman dapat berbicara santai sambil makan.

*             Hubungan aditif nontemporal.
Contoh :
Orang itu malas bekerja. Duduk melamun saja sepanjang hari. Berpangku tangan. Bagaimana bisa mendapat rezeki? Bagaimana bisa hidup berkecukupan. Tanpa menanam, menyiangi, menumbuk, serta menumpas hama, bagaimana bisa memperoleh panen yang memuaskan, bukan? Agaknya orang itu tidak menyadari hal ini.
*             Hubungan identifikasi.
Contoh :
Kalau orang tuamu miskin, itu tidak berarti bahwa kamu tidak mempunyai kemungkinan memperoleh gelar sarjana. Lihat itu, Guntur Sibero. Dia anak orang miskin yang berhasil mencapai gelar doktor, dan kini sudah diangkat menjadi profesor di salah satu perguruan tinggi di Bandung.
*             Hubungan generik-spesifik.
Contoh :
Abangku memang bersifat sosial dan pemurah. Dia pasti dan rela menyumbang paling sedikit satu juta rupiah buat pembangunan rumah ibadah itu.
*             Hubungan ibarat.
Contoh :
Memang suatu ketakaburan bagi pemuda papa dan miskin itu untuk memiliki mobil dan gedung mewah tanpa bekerja keras memeras otak. Kerjanya hanya melamun dan berpangku tangan saja setiap hari. Di samping itu dia berkeinginan pula mempersunting putri Haji Guntur yang bernama Ruminah itu, jelas dia itu ibarat pungguk merindukan bulan. Maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar