KAJIAN WACANA BAHASA INDONESIA
A. Pengertian
Kajian Wacana
Kajian merupakan suatu kata yang berasal dari kata “kaji” yang berartipelajaran dan atau penyilidikan (tentang sesuatu). Bermula dari pengertian kata dasar yang
demikian, kata ”kajian” berarti proses, cara, perbuatan mengkaji;
penyelidikan (pelajaran yang mendalam). Sedangkan
wacana menurut Harimurti Kridalaksana ( 1985: 184 ) adalah satuan bahasa terlengkap dalam
hierarki gramatikal, merupakan satuan gramatikal atau satuan bahasa tertinggi
dan terbesar. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kajian wacana merupakan suatu
piranti yang digunakan untuk proses penyelidikan atau mengkaji satuan bahasa
terlengkap dalam hierarki gramatikal.
Sebuah wacana mempunyai dimensi yang luas karena wacana diproduksi oleh
masyarakat pemiliknya yang beragam dan kaya budaya.Untuk memahami secara
mendalam dan tuntas diperlukan berbagai sudut pandang.Ada enam ancangan kajian
wacana, diantarannya: teori tindak tutur, teori sosiolingustik interaksional,
teori etnografi komunikasi, teori pragmatik, teori analisis percakapan, dan
teori analisis variasi.
1. Kajian Pragmatik
Kajian
wacana dengan pendekatan pragmatik bertujuan untuk menggambarkan
substansi suatu wacana dengan memanfaatkan epistemologi pragmatik. Sasaran
kajiannya adalah menemukan dan mengungkap karakteristik wacana menurut kacamata
pragmatik.
Ancangan pragmatik yang ditawarkan model Grace dalam Deborah Schiffrin
(2007: 269) untuk analisis wacana didasarkan pada seperangkap prinsip umum
tentang kerasionalan perilaku komunikatif (PK) yang mengatakan bagaimana
penutur dan mitra tutur untuk mengenali dan menggunakan informasi ysng
ditawarkan dalam sebuah teks atau sebuah wacana, bersamaan dengan latar
belakang pengetahuan dunia (termasuk pengetahuan konteks sosial secara
langsung) untuk mengungkapkan dan lebih memahami apa yang telah dikatakan
secara singkat dalam berkomunikasi.
Penawaran
pragmatik model Grice dalam Deborah Schiffrin (2007:
269) pada
analisis wacana memandang bagaimana asumsi partisipan terdiri atas konteks
kerja sama untuk komunikasi (satu konteks termasuk pengetahuan teks, dan
situasi) memberi kontribusi makna, dan bagaimana asumsi tersebut membantu
menciptakan tahapan pola bicara.
Pragmatik
model Grice pada acuan peristilahan dalam sebuah cerita bermakna bahwa analisis
tersebut dibantu atau ditunjukkan dalam bagian besar dan tahapan acuan yang ada
dalam cerita, dari pada mengusulkan relevansi yang
abstrak antara maksim-maksim dan mencoba menemukan contoh-contoh yang
memperkuat relevansi tersebut.
2.
Etnografi
Komunikasi
Kajian sosiolinguistik yang tergolong mendapat perhatian cukup besar adalah
kajian tentang etnografi komunikasi.Etnografi adalah kajian tentang kehidupan
dan kebudayaan suatu masyarakat atau etnik, misalnya tentang adat-istiadat, kebiasaan,
hukum, seni, religi, bahasa. Dalam Deborah Schiffrin (2007: 185)
Menurut Hymes (1974) dalam Deborah Schiffrin (2007: 184) istilah etnografi
komunikasi sendiri menunjukkan cakupan kajian berlandaskan etnografi dan
komunikasi. Cakupan kajian tidak dapat dipisah-pisahkan, misalnya hanya
mengambil hasil-hasil kajian dari linguistik, psikologi, sosiologi, etnologi,
lalu menghubung-hubungkannya.Fokus kajiannya hendaknya meneliti secara langsung
terhadap penggunaan bahasa dalam konteks situasi tertentu, sehingga dapat
mengamati dengan jelas pola-pola aktivitas tutur, dan kajiannya diupayakan
tidak terlepas (secara terpisah-pisah), misalnya tentang gramatika (seperti
dilakukan oleh linguis), tentang kepribadian (seperti psikologi), tentang
struktur sosial (seperti sosiologi), tentang religi (seperti etnologi), dan
sebagainya.Dalam kaitan dengan landasan itu, seorang peneliti tidak dapat
membentuk bahasa, atau bahkan tutur, sebagai kerangka acuan yang
sempit.Peneliti harus mengambil konteks suatu komunitas (community),
atau jaringan orang-orang, lalu meneliti kegiatan komunikasinya secara
menyeluruh, sehingga tiap penggunaan saluran atau kode komunikasi selalu
merupakan bagian dari khasanah komunitas yang diambil oleh para penutur ketika
dibutuhkan.
Konsep etnografi wicara di dalam sosiolinguistik menurut Hymes merupakan
bagian dari kajian komunikasi secara keseluruhan.Untuk itu perlu dipahami
beberapa konsep penting yang berkaitan dengan etnografi wicara.
Deborah Schiffrin (2007: 261), Ancangan kajian etnografi terhadap wacana
diperlukan untuk menemukan dan menganalisis struktur-struktur dan fungsi-fungsi
dari komunikasi yang mengatur penggunaan bahasa dalam situasi tutur, peristiwa
tutur, dan tindak tutur.
3.
Kajian Analisis Variasi
Ancangan
wacana variosionis berasal dari studi kuantitatif perubahan dan variasi
linguistic.Walaupun analisis tersebut secara tipical berfokus pada
pembatasan-pembatasan social dan linguistic pada varian equivalen secara
semantic, ancangan tersebut juga diperluas ke arah teks.Kami melihat bahwa unit
dasar narasi adalah peristiwa, unit dasar daftar adalah kesatuan. Informasi
utama daftar adalah deskriftif. Pembandingan tersebut merefleksikan tendensi
variasiois terhadap tuturan wacana dalam istilah yang sama yang digunakan
dengan orientasi linguistic secara structural: “unit-unit” beranak-pihak ke
arah konstituen: “informasi” dalam pengertian proposional (meskipun fakta bahwa
proposisi sendiri memilki interpretasi evaluative);”struktur” adalah aturan
sintagmatis dan paradigmatis dari unit-unit dalam pola-pola berulang (Deborah Schiffrin 2007: 426)
4.
Teori Tindak
Tutur
Tindak tutur
atau tindak ujar (speech act) merupakan entitas yang bersifat sentral
dalam pragmatik sehingga bersifat pokok di dalam pragmatik. Tindak tutur
merupakan dasar bagi nanalisis topik-topik pragmatik lain seperti praanggapan,
perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerja sama, dan prinsip kesantunan.
Kajian pragmatik yang tidak mendasarkan analisisnya pada tindak tutur bukanlah
kajian pragmatik dalam arti yang sebenarnya.
Suwito dalam
bukunya Sosiolinguistik: Teori dan Problem mengemukakan jika peristiwa
tutur (speech event) merupakan gejala sosial dan terdapat interaksi
antara penutur dalam situasi dan tempat tertentu, maka tindak tutur lebih
cenderung sebagai gejala individual, bersifat psikologis dan ditentukanm oleh
kemampuan bahasa penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Jika dalam
peristiwa tutur orang menitikberatkan pada tujuan peristiwa, maka dalam tindak
tutur lebih memperhatikan makna atau arti tindakan dalam tuturan itu.
Dari literatur
pragmatik, dapat dijelaskan bahwa tindak tutur adalah tuturan dari seseorang
yang bersifat psikologis dan yang dilihat dari makna tindakan dalam tuturannya
itu.serangkaian tindak tutur akan membentuk suatu peristiwa tutur (speech
event).
Jadi dapat disimpulkan bahwa tindak tutur merupakan suatu ujaran yang
mengandung tindakan sebagai suatu fungsional dalam komunikasi yang
mempertimbangkan aspek situasi tutur.
Tindak tutur yang dilangsungkan dengan kalimat performatif oleh Austin
(1962: 100-102) dirumuskan sebagai tiga peristiwa tindakan yang berlangsung
sekaligus, yaitu:
1.
Tindak
tutur lokusi, yakni tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata”
atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami
(pernyataan). Misalnya, “Ibu berkata kepada saya agar saya membantunya”.
2.
Tindak
tutur ilokusi, adalah tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan dengan
kalimat performatif yang eksplisit. Tindak tutur ilokusi biasanya berkenaan
dengan pemberian izin, mengucapkan terima kasih, menyuruh, menawarkan, dan
menjanjikan.Misalnya “Ibu menyuruh saya agar segera berangkat”.Kalau tindak
tutur ilokusi hanya berkaitan dengan makna, maka makna tindak tutur ilokusi
berkaitan dengan nilai, yang dibawakan oleh preposisinya.
3.
Tindak
tutur perlokusi, adalah tindak tutur yang berkenaan dengan adanya ucapan orang
lain sehubungan dengan sikap dan perilaku nonlinguistic dari orang lain itu.
Misalnya, karena adanya ucapan dokter (kepada pasiennya) “Mungkin ibu menderita
penyakit jantung koroner”, maka si pasien akan panik dan sedih.
4.
Tindak tutur
ilokusi adalah tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan dengan kalimat
performatif yang eksplisit.Menurut pendapat Austin ilokusi adalah tindak melakukan
sesuatu.Ilokusi merupakan tindak tutur yang mengandung maksud dan fungsi atau
daya tuturan. Bagi
Austin, tujuan penutur dalam bertutur bukan hanya untuk memproduksi
kalimat-kalimat yang memiliki pengertian dan acuan tertentu. Bahkan tujuannya
adalah untuk menghasilkan kalimat-kalimat yang memberikan konstribusi jenis
gerakan interaksional tertentu pada komunikasi.Tindak tutur ilokusi ini
biasanya berkenaan den gan
pemberian izin, mengucapkan terima kasih, menyuruh, menawarkan, dan
menjanjikan.
5.
Tindak tutur
lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu sebagaimana adanya atau The
Act of Saying Something tindakan untuk mengatakan sesuatu.Fokus lokusi
adalah makna tuturan yang diucapkan, bukan mempermasalahkan maksud atau fungsi
tuturan itu.Rohmadi mendefinisikan bahwa lokusi adalah tindak bertutur dengan
kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa,
dan kalimat itu.Lokusi dapat dikatakan sebagai the act of saying something.Tindak
lokusi merupakan tindakan yang paling mudah diidentifikasi karena dalam
pengidentifikasiannya tidak memperhitungkan konteks tuturan. Dengan kata lain, tindak tutur
lokusi adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau
tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami
6.
Tindak tutur perlokusi adalah tindak tutur yang berkenaan
dengan adanya ucapan orang lain sehubungan dengan sikap dan perilaku
nonlinguistik dari orang lain
Pencetus teori tindak tutur, Searle membagi tindak tutur
menjadi lima kategori:
1.
Representative/asertif, yaitu tuturan yang mengikat
penuturnya akan kebenaran atas apa yang diujarkan. Tindak tutur jenis ini juga
disebut dengan tindak tutur asertif.Yang termasuk tindak tutur jenis ini
adalah tuturan menyatakan, menuntut, mengakui, menunjukkan, melaporkan,
memberikan kesaksian, menyebutkan, berspekulasi
2.
Direktif/impositif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan
penuturnya agar si pendengar melakukan tindakan yang disebutkan di dalam
tuturan itu. Tindak tutur direktif disebut juga dengan tindak tutur impositif.
Yang termasuk ke dalam tindak tutur jenis ini antara lain tuturan meminta,
mengajak, memaksa, menyarankan, mendesak, menyuruh, menagih, memerintah,
mendesak, memohon, menantang, memberi aba-aba.
3.
Ekspresif/evaluatif.
Tindak tutur ini disebut juga dengan tindak tutur evaluatif.Tindak
tutur ekspresif adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar tuturannya
diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam tuturan itu,
meliputi tuturan mengucapkan terima kasih, mengeluh, mengucapkan selamat,
menyanjung, memuji, meyalahkan, dan mengkritik.Tuturan “Sudah kerja keras
mencari uang, tetap saja hasilnya tidak bisa mencukupi kebutuhan
keluarga”.Tuturan tersebut merupakan tindak tutur ekspresif mengeluh yang dapat
diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang dituturkannya, yaitu usaha mencari
uang yang hasilnya selalu tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
4.
Komisif. Tindak tutur komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk
melaksanakan segala hal yang disebutkan dalam ujarannya, misalnya bersumpah,
berjanji, mengancam, menyatakan kesanggupan, berkaul.
5.
Deklaratif/establisif/isbati, yaitu tindak tutur yang
dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan hal (status, keadaan, dsb) yang baru. Tindak
tutur ini disebut juga dengan istilah isbati.Yang termasuk ke dalam
jenis tuutran ini adalah tuturan dengan maksud mengesankan, memutuskan,
membatalkan, melarang, mengabulkan, mengizinkan, menggolongkan, mengangkat,
mengampuni, memaafkan.
5.
Kajian Sosiolinguistik Interaksional
Definisi di pembahasan
sosiolinguistik interaksional ini bukan definisi yang semestinya.Akan tetapi,
definisi di pembahasan sosiolinguistik interaksional ini adalah pandangan atau
lebih tepatnya sebuah kontribusi dari dua tokoh yang akhirnya bisa mengembangkan
masalah sosiolinguistik interaksional.Dalam bagian ini, Deborah (2007: 125) mendeskripsikan gagasan dasar
sosiolingustik interaksional.Deborah mengawali dengan kerja Gumperz dan
kemudian beralih ke kerja Goffman.
Bahwa
sosiolinguistik interaksional memberikan sebuah ancangan wacana yang berfokus
pada peletakan makna atau penempatan makna.Jadi, Gumperz fokus pada
ditempatkanya inference (dugaan), sedangkan Goffman memberikan kerangka
kerja sosiologis untuk mendeskripsikan dan memahami bentuk dan makna untuk
konteks sosial dan interpersonal yang memberikan praduga untuk interpretasi
makna. Mencoba menemukan penempatan makna
dan mencari bagaimana makna tersebut memberi kontribusi ke arah proses dan
pemerolehan interaksi.
6. Kajian Analisis
Percakapan
Analisis percakapan (AP) merupakan suatu pendekatan analisis wacana
(Achmad, 2006:11). Pendekatan ini telah dipopulerkan oleh ahli sosiologi Garfinkel berdasarkan
ancangan etnometodelogi dan kemudian diterapkan dalam analisis percakapan oleh
Sack (1975) dan Jeffersen (1974). AP berbeda dengan cabang sosiologi karena
bukan hanya mengalisis aturan sosial tapi juga mencari dan menemukan cara atau
metode yang digunakan anggota masyarakat untuk menghasilkan makna aturan
sosial. Analisis percakapan merupakan sebuah ancangan wacana yang menekankan
konteks, relevansi konteks, berdasarkan teks.
Percakapan merupakan sumber bagi aturan sosial yang memperlihatkan adanya
urutan dan struktur percakapan. AP menaruh perhatian pada masalah aturan
sosial yaitu bagaimana bahasa
menciptakan dan diciptakan oleh konteks sosial, di samping pengetahuan manusia
yang tidak terbatas pada pengetahuan sempit tetapi meliputi kebiasaan yang ada
dan digunakan. Ringkasnya, pengetahuan tidak
dapat dipisahkan dari konteks dan masyarakat pemakainya, sehingga perlu
dianalisis.
B. Manfaat Kajian Wacana Dalam Konteks Indonesia
Kajian wacana memiliki manfaat yang besar apabila
dikaitkan dengan koteks Indonesia yang beraneka ragam kultur dan budayanya.
Manfaat tersebut antara lain sebagai berikut.
1)
Membantu masyarakat memahami berbagai permasalahan yang terjadi sekaligus
mencari solusinya.
2)
Sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan langkah yang akan diambil
setelah melihat fakta yang berkembang di masyarakat.
3)
Kajian wacana dapat mengungkap berbagai fakta, idealisme yang tersirat
dalam sebuah wacana guna mengetahui maksud dan tujuan penulis wacana tersebut.
4)
Membongkar nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah wacana. Nilai-nilai
ini tentu adalah nilai-nilai kebenaran yang sebenarnya, bukan sekedar kamuflase
permainan bahasa
5)
Kajian wacana memberikan
kontribusi bagi perkembangan pendidikan dengan menanamkan sikap skeptic dan critical thingking terhadap segala hal.
6)
Kajian wacana memungkinkan menganalisis fenomena-fenomena yang terjadi di
lingkungan sekitar dari berbagai sudut pandang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar